Fenomena Korupsi dan usaha pencegahannya

Di perhelatan internsional nama Indonesia memang cukup unik, di beberapa hal Indonesia sangat terkenal dan diperhitung seperti pada cabang olahraga bulu tangkis, namun ada juga hal yang menjadikan Indonesia dipandang sebelah mata misalnya di sepak Bola. Namun uniknya ada sebuah fenomena buruk yang dengannya membuat bangsa ini menjadi sangat terkenal, fenomena apakah itu? Fenomena itu adalah korupsi.

Korupsi telah menjadi hal biasa dalam masyarakat Indonesia, bahkan seperti telah mendarah daging. Kalau berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan, bahkan sang maling tersebut akan menjadi buan-bulanan masa dengan penyiksaan dan penganiayaan lainnya, tapi bagaimana dengan sang koruptor?

Para koruptorlah yang sangat bertanggung jawab atas keadaan bangsa sekarang ini, bagaimana tidak, uang negara telah mereka habiskan, entah sudah berapa kerugian negara yang diakibatkan oleh maling berkedok pelayan masyarakat ini. Namun mereka sendiri justru malah mendapatkan alam kebebasan dan makin enak mengeruk kekayaan masyarakat tanpa sedikitpun tersentuh oleh payung hokum.

Perilaku korupsi pun terjadi tidak hanya dikalangan elit saja, masyarakat Indonesia pun dalam perilakunya sehari-hari seperti sudah terbiasa dengan apa yang namanya korupsi tersebut. Jika melihat definisi korupsi yang dikeluarkan oleh KPK melalui buku saku dengan judul “Memehami Untuk Membasmi” maka perilaku-perilaku yang sering dilakukan masyarakat ataupun aparatur negara yang biasa kita anggap lumrah ternyata adalah korupsi dan berotensi merugikan masyarakat dan negara.

Karena telah begitu mendarah dagingnya korupsi ini dimasyarakat maka diperluka tindakan tindakan yang tepat untuk menanganinya. Tindakan untuk melakukan pembrantasan korupsi telah dilakukan sejak zaman dahulu dimulai dari tahun 50an saat presiden sukarno berkuasa, namun kini ½ abad telah berlalu namun korupsi masih saja ada bahkan semakin merajalela.

Rasanya seperti mustahil untuk dapat memberantas korupsi hingga keakar-akarnya melihat fenomena sperti diatas. Namun setidaknya diperlukan upaya untuk menekan angka korupsi sabil terus mencari solusi untuk benar-benar memberantas korupsi hingga keakar-akarnya. Menurut Muhd. K. Salim seorang pengamat korupsi, beliau mengatakan beberapa hal yang mugkin dapat mnjadi pertimbangan untuk mengurangi korupsi diantaranya :

  1. 1. Kontrol sosial dari masyarakat, yang menyadari bahwa perbuatan korupsi merugikan semua orang, dan korupsi uang negara adalah perbuatan jahat yang direncanakan dan menyengsarakan rakyat. Bahwa koruptor itu berjuta kali lebih jahat dan kejam dari segala perbuatan kriminal lainnya. Dan perbuatan korupsi adalah perbuatan manusia bejat serta tidak bermoral. Wacana-wacana diatas jika telah booming mungkin bisa membuat koruptor sedikit malu atas perbuatannya.
  2. Sistem hukum yang berlaku, seharusnya dalam pelaksanaan sistem hukum negara kita jangan ada perbedaan perlakuan dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun, kalau maling ayam ketangkap masuk tahanan, sang pejabat yang ada bukti awal korupsi juga seharusnya segera dimasukkan dalam tahanan. Pelaku kriminal lainnya hanya boleh dibesuk pada jam dan waktu yang telah ditentukan, sang koruptor harusnya juga diperkakukan sama. Seringkali pihak aparat penegak hukumnya seolah – olah kalah wibawa dengan sang koruptor, jelas ini masalah moral dan mental yang perlu segera dibenahi.
  3. 3. Sistem pendidikan, mungkin dapat dirancang untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai setingkat SLTP, yang menanamkan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya, juga menanamkan rasa memiliki negara ini, dengan mengajarkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan korupsi, akibatnya, dan rasa kebenciannya terhadap korupsi, sehingga anak – anak koruptor tidak dengan
  4. 4. Undang – undang korupsi, yang berlaku saat ini, terlampau banyak celah dan kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh koruptor. Berlakukan undang – undang korupsi pembuktian terbalik dengan tambahan bahwa yang dapat dijerat dengan undang – undang ini termasuk keluarga sang pejabat
  5. 5. Seleksi penerimaan Pegawai Negeri, Cara penerimaan pegawai negeri yang sampai hari ini tidak jelas ujung pangkalnya perlu sesegera mungkin dibenahi, dan dengan prinsip dasar transparan. Sehingga jelas apa dasar dan alasan seseorang diterima menjadi pegawai negeri, juga pengangkatan pejabat yang sampai hari ini masih kacau balau.

Tindakan-tindakan diatas sebagian telah dilakukan, hanya saja belum maksimal baik dari pelaksanaan maupun hasilnya. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sebenarnya sangatlah penting yaitu apek pencegahan. Kegiatan pencegahan dilakukan dengan menanamkan aspek-aspek moral dan pendidikan akhlak sedini mumgkin, karena kedua aspek inilah yangakan menjadi perisai dalam menjalankan kehidupan, sehngga harapannya tindakan korupsi telah terperisai dari dalam diri manusia itu sendiri.

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP MEKANISASI PERTANIAN

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan dicanangkan mulai 1 Juni 2008 oleh pemerintah SBY-JK sebesar 27,5%-30% berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, salah satunya adalah pada proses penggunaan alat mesin pertanian oleh petani, nelayan, ataupun pengusaha agroindustri. Dampak tersebut sudah dirasakan sebelum diputuskannya kebijakan penaikan harga tersebut, karena peraturan tentang jual beli bahan bakar minyak telah dikeluarkan oleh kementrian ESDM dan dilanjutkan oleh PERTAMINA khususnya tentang pelarangan pembelian bahan bakar minyak menggunakan drigen atau wadah lainnya selain menggunakan langsung dengan kendaraan bermotor sendiri. Peraturan ini dibuat untuk mengamankan dan mengefektifkan sasaran subsidi bahan bakar minyak bagi pengguna kendaraan bermotor.

Maka dari itu, naik atau tidaknya harga BBM akan berdampak pada dua hal :

Jika tidak naik tetapi peraturan jual beli itu ada, maka petani akan kesulitan membeli bahan bakar minyak untuk keperluan operasional alat mesin pertanian (traktor/tenaga penggerak, mesin perontok, pengering/blower, penggiling, motor untuk perahu dan alat mesin lainnya) karena selama ini petani membeli bahan bakar menggunakan wadah sementara yang selanjutnya dibawa ke lahan untuk diisikan pada mesin. Jika peraturan ini ditetapkan, maka petani terpaksa harus membawa traktor/alat mesin lainnya ke tempat penjualan bahan bakar/POM atau harus menggunakan kendaraan bermotor terlebuh dahulu dan menyedotnya di lahan untuk disalurkan ke alat dan mesin pertanian. Sungguh keadaan ini sangat menyulitkan petani. Dampak terbesarnya adalah petani semakin enggan untuk menggunakan alat dan mesin pertanian sehingga pada akhirnya mekanisasi pertanian dapat kembali ditinggalkan. Jika sudah ditinggalkan, maka produktivitas efisiensi, mutu dan efektifitas pertanian/pangan yang selama ini diusahakan dengan alat mesin akan terhambat kembali.

Jika harga menjadi naik dan peraturan jual beli tersebut ada, maka dampaknya bukan hanya seperti yang di atas, tetapi berdampak pula pada kenaikan biaya produksi yang dibebankan pada petani unutk mengolah lahan, budidaya dan produksi pengolahan hasil pertanian. Dampaknya setelah itu adalah harga jual hasil pertanian akan meningkat dan kenaikan harga bahan makanan yang dibebankan pada masyarakat konsumen. Selain dampak kenaikan harga, mahalnya ongkos operasional alat mesin pertanian berdampak pada semakin enggannya petani menggunakan alat mesin pertanian dan berdampak sama seperti di atas yaitu terhambatnya mekanisasi pertanian dan kendala peningkatan produktivitas hasil pertanian, efisiensi, mutu dan efektifitas.

Untuk itu perlu adanya sebuah kebijakan pemerintah tentang sistem yang menjamin untuk aksesibilitas petani untuk mendapatkan bahan bakar minyak dalam hal kemampuan daya beli ataupun kemudahan mendapatkan, misalnya pemberian kartu khusus petani untuk dapat membeli solar atau bensin dengan jerigen, ataupun system penyaluran solar / premium yang baik dan mampu menjangkau petani.

BIOTEKNOLOGI

Secara tradisional, pemuliaan tanaman, dan rekayasa genetika sebenarnya telah dilakukan oleh para petani melalui proses penyilangan dan perbaikan tanaman. Misalnya melalui tahap penyilangan dan seleksi tanaman dengan tujuan tanaman tersebut menjadi lebih besar, kuat, dan lebih tahan terhadap penyakit. Selama puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, para petani dan para pemulia tanaman telah berhasil memuliakan tanaman padi, jagung, dan tebu, sehingga tanaman-tanaman tersebut mempunyai daya hasil tinggi dan memiliki kualitas panen yang lebih baik.

Secara tidak sadar kita telah mengkategorikan tanaman-tanaman hasil pemuliaan tradisional padi, jagung, dan tebu, tadi sebagai tanaman yang bersifat ‘alamiah’, padahal penampilan fenotif maupun genotif tanaman-tanaman tersebut sudah jauh berbeda dibandingkan dengan kerabat alaminya yang asli yang tumbuh di alam bebas dan lebih mirip sebagai gulma atau malah tanaman kerabat alaminya tersebut sudah punah.

Proses pemindahan gen pada pemuliaan tradisional dilakukan melalui proses penyerbukan dengan perantaraan angin maupun bantuan serangga penyerbuk. Proses penyerbukan ini sering kali melibatkan bantuan manusia, misalnya melalui penyerbukan dengan cara memindahkan serbuk sari tanaman yang satu ke ujung putik tanaman lainnya.

Pada proses penyerbukan dengan bantuan manusia ini, tidak jarang jumlah kromosom (pembawa sifat) pada serbuk sari tersebut harus ‘disesuaikan’ terlebih dahulu oleh larutan pengganda kromosom seperti colchisine sehingga serbuk sari menjadi lebih kompatibel dengan tanaman betina melalui kepala putiknya. Upaya ini terus dilakukan secara berlanjut dalam bentuk penyelamatan embrio (embrio rescue) sehingga hibrida dapat bertahan (survive) dan tumbuh menjadi tanaman dewasa.

Pemuliaan tradisional telah banyak membantu meningkatkan produktivitas pertanian dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Data FAO tahun 1992 menunjukkan adanya peningkatan hasil biji-bijian (grain) dari rata-rata 1.1 ton per hektar pada tahun 1950 menjadi 2.8 ton per hektar pada tahun 1992. Namun karena jumlah penduduk masih jauh lebih besar dibandingkan dengan produksi pangan, peningkatan hasil pangan melalui proses pemuliaan ini masih terus dikembangkan.

Ahli demografi dari Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan jumlah penduduk dunia saat ini mencapai enam milyar orang, atau jumlahnya dua kali lipat dari jumlah penduduk 50 tahun yang lalu. Diperkirakan populasi dunia akan mencapai sembilan milyar pada 50 tahun mendatang (Population Division, 1999). Untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang populasinya terus bertambah dengan pesat ini, diperlukan lahan pertanian yang luas. Sementara itu ketersedian lahan untuk pertanian semakin lama semakin berkurang karena peruntukkannya banyak yang diubah menjadi lahan perumahan dan industri.

Oleh karena itu, diperlukan terobosan-terobosan di bidang teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian per unit lahan. Seperti diyakini para pakar, rekayasa genetika merupakan salah satu teknologi pertanian yang berpeluang dapat me-ningkatkan produktivitas pertanian (Swa-minathan, 1999, McGloughlin, 1999). Teknologi ini telah berkembang pesat selama kurun waktu lima belas tahun terakhir ini.

Prinsip rekayasa genetika sama dengan pemuliaan tanaman, yaitu memperbaiki sifat-sifat tanaman dengan menambahkan sifat-sifat ketahanan terhadap cekaman mahluk hidup pengganggu maupun cekaman lingkungan yang kurang menguntungkan serta memperbaiki kualitas nutrisi makanan. Perbedaan rekayasa genetika dengan pemuliaan tradisional adalah kemampuan rekayasa genetika dalam memanfaatkan gen-gen yang tidak dapat dipergunakan secara maksimal pada pemuliaan tradisional karena banyak gen yang terhalang saat penyerbukan.

Rekayasa genetika adalah kelanjutan dari pemuliaan secara tradisional. Tidak seperti halnya pemuliaan tanaman secara tradisional yang menggabungkan seluruh komponen materi genetika dari dua tanaman yang disilangkan, rekayas genetika memungkinkan pemindahan satu atau beberapa gen yang dikehendaki dari satu tanaman ke tanaman lain.

Pada pemuliaan tradisional diperlukan sedikitnya lima generasi penyilangan balik (backcross) untuk menghilangkan gen-gen yang tidak dikehendaki dan mungkin bersifat merugikan karena bertaut dengan gen yang diinginkan pada proses fertilisasi, sehingga pemuliaan tanaman secar tradisional memerlukan waktu yang lama.

Selain itu, pemuliaan tanaman tradisional memiliki keterbatasan dalam menggunakan sumber-sumber gen yaitu hanya sebatas menggunakan tananam yang bisa disilangkan saja. Misalnya, pemindahan gen yng toleran terhadap air asin dari tanaman manggrove famili Rhizophoraceae pada tanaman padi tidak mungkin dilakukan melalui proses penyilangan (Swaminathan, 1999).

Demikian halnya dengan pemindahan gen untuk provitamin A pada endosperma biji padi yang tidak mungkin dapat dilakukan secara tradisional. Keunggulan rekayasa genetika adalah mampu memindahkan materi genetika dari sumber yang sangat beragam dengan ketepatan tinggi dan terkontrol dalam waktu yang lebih singkat. Melalui proses rekayasa genetika ini, telah berhasil dikembangkan tanaman yang tahan terhadap organisme pengganggu seperti serangga, penyakit dan gulma yang sangat merugikan tanaman (James, 1998). Departemen Pertanian Cina telah melakukan penelitian dan pengujian lapangan terhadap 47 spesies tanaman transgenik dan 103 macam genetik (Zhang, 1999).

Di negara kita, LIPI telah berhasil memasukkan gen bioteknologi (Bt) pada padi sehingga padi tersebut menjadi tahan hama dan serangga. Rekayasa genetika juga membawa perbaikan kualitas seperti meningkatnya kandungan provitamin A padi (Ye dan kawan-kawan, 2000), menurunya kadar lemak jenuh pada minyak nabati (Lehrer, 1999) dan masih banyak lagi.

Penelitian di Universitas Texas A & M menunjukkan bahwa jagung Bt memiliki kadar racun mycotoxin (penyebab kanker) yang sangat rendah dibanding jagung biasa, karena pada jagung Bt tidak terdapat luka gigitan serangga yang biasanya menjadi tempat masuknya jamur penghasil mycotoxin (Benedict dkk, 1998).

Tanaman-tanaman produk rekayasa genetika (transgenik) kini telah ditanam secara luas di dunia. Menurut penelitian organisasi nirlaba ISAAA (International Service for the Acquistion of Agri-Biotech Aplication), penanaman produk rekayasa genetika merupkan satu-satunya teknologi pertanian digunakan secara luas oleh petani sehingga mengalami peningkatan yang pesat setiap tahunnya. Dengan tanaman hasil rekayasa genetika ini, para petani menjadi lebih puas terhadap produk pertanian. Produk ini telah berhasil memberikan berbagai keuntungan kepada petani misalnya memberikan hasil yang meningkat, memudahkan budidaya pertanian, serta lebih ramah lingkungan karena berkurangnya penggunaan bahan-bahan pestisida kimia. Total luas area tanaman transgenik untuk tahun 2001 adalah 52,6 juta hektar (James, 2001).

Analisa resiko tanaman produk rekayasa genetika
Pelepasan tanaman produk rekayasa genetika ke alam dipandang memiliki resiko terhadap lingkungan dan kesehatan manusia seperti misalnya kemungkinan tanaman transgenik tersebut menjadi gulma, kemungkinan terjadinya perpindahan gen pada spesies lain yang berakibat buruk, dan resiko kesehatan karena tanaman transgenik tersebut digunakan sebagai makanan.

Proses perpindahan DNA dari satu spesies ke spesies lain secara alami terjadi di alam. Bahkan dipercaya proses ini merupakan bagian dari proses evolusi biosfer planet bumi yaitu terjadinya perpindahan materi genetik ganggang hijau biru (merupakan nenek moyang sel tanaman) yang menyebabkan tanaman menjadi mampu melakukan proses fotosintesa yang secara drastis mengubah kondisi bumi yang tadinya tidak beroksigen (anaerobik) menjadi beroksigen (aerobik) (Suwanto, 2000).

Contoh lain misalnya ketahanan (survival) bakteri tanah Agrobacterium tumefasciens dengan mengintegrasikan sebagian genomnya pada tanaman, seperti pada pembuatan tanaman transgenik saat ini. Dengan demikian, proses perpindahan DNA pada tanaman transgenik tidak dengan sendirinya menimbulkan resiko namun yang dihasilkan dari ekspresi gen intraduksi-lah yang harus dikaji resikonya.

Berikut ini adalah petikan-petikan analisa resiko yang berasal publikasi The Royal Society of New Zealand (Conner, 1997) dan dari sumber-sumber lainnya.

1. Mungkinkah tanaman transgenik berubah menjadi gulma?

Seperti yang telah diuraikan di atas, tanaman budidaya memiliki tampilan agronomis yang jauh berbeda dibandingkan dengan tanaman nenek moyangnya yang mungkin lebih menyerupai gulma. Ciri-ciri gulma adalah biji memiliki masa dormansi (istirahat) yang panjang, mampu beradaptasi pada lingkungan yang beragam, pertumbuhan yang terus menerus, serta penyebaran biji yang lebih luas. Ciri-ciri kegulmaan ini telah dihilangkan pada tanaman budidaya melalui proses pemulian tanaman selama ratusan bahkan ribuan tahun. Pemindahan satu gen saja (misalnya gen ketahanan terhadap serangga, atau herbisida) tidak akan bisa mengembalikan semua karakter kegulmaan pada tanaman budidaya.

2. Mungkinkah gen baru dipindahkan kepada gulma dan menjadi gulma yang super?

Penanaman tanaman transgenik yang tahan terhadap herbisida mendatangkan kekhawatiran akan berpindahnya karakter tahan terhadap herbisida tersebut pada kerabat liarnya yang merupakan gulma sehingga tanaman tersebut dikhawatirkan menjadi tanaman gulma yang super. Kekhawatiran ini terutama mungkin terjadi jika tanaman tersebut ditempatkan di tempat keanekaragaman hayati (center of genetic diversity) tanaman transgenik tersebut. Tanaman-tanaman budidaya yang ditanam secara luas di Indonesia dan memiliki nilai tinggi berasal dari introduksi dari negara lain, seperti jagung yang berasal dari Meksiko, kedelai dari Cina, kapas dari India, kelapa sawit dari Papua Nugini, dan karet dari Brazil.

Perpindahan materi genetik dari tanaman budidaya ke tanman kerabat liarnya telah terjadi di tempat yang merupakan pusat keanekaragaman hayati tanaman transgenik itu. Isu ini perlu diperhatikan dan dicarikan jalan keluarnya. Dapat dikatakan bahwa isu ini tidak unik pada tanaman transgenik karena tanaman transgenik yang tahan herbisida tersebut bukan saja merupakan produk rekayasa genetika tetapi juga banyak tanaman tahan herbisida yang merupakan hasil pemuliaan tanaman itu sendiri.

3. Apakah jagung Bt membahayakan kupu-kupu Monarch ?

Telah dilaporkan daun tanaman milkweed yang ditaburi serbuk sari dari tanaman jagung hasil Bioteknologi (Bt) membunuh ulat Kupu-kupu Monarch di laboratiorium Unirversitas Cornell (Losey dkk, 1999). Laporan ini telah berturut-turut dibantah dengan penelitian yang dilakukan skala lapangan. Penelitian lapangan ini menyimpulkan bahwa di lapangan, tanaman milkweed yang merupakan satu-satunya sumber makanan ulat kupu-kupu Monarch, ternyata tidak hidup dan tidak tumbuh bersama-sama dengan jagung, masa reproduksi ulat Kupu-kupu Monarch juga tidak bersamaaan dengan masa pembungaan tanaman jagung, dan kalaupun serbuk sari jagung jatuh ke daun milkweed maka jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah serbuk sari yang dioleskan ke permukaan daun pada saat percobaan laboratorium di Universitas Cornell tersebut (Pleasant dkk 1999, sears 2000).

4. Apakah tanaman transgenik berbahaya bila dikonsumsi ?

Dr. Arpad Pusztai melakukan penelitian mengenai dampak buruk terhadap kesehatan tikus setelah diberi makan kentang transgenik yang mengandung gen lectin yang bersifat racun (Ewen dan Pusztai 1999). Dapat dikatakan bahwa kentang transgenik ini bukan produk komersial, kentang ini tidak mungkin lolos dalam pengujian keamanan pangan dan diijinkan untuk di komersialkan karena sebelumnya telah diketahui sifat lectin yang beracun. Selanjutnya, dalam pernyataan tertulisnya The Royal Society menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Puztai tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena mengandung kesalahan (flaw) baik dalam desain eksperimen, perlakuan maupun analisa hasilnya (The Royal Society Press Release, 18 Mei 1999).

Tanaman transgenik dapat berbahaya atau bermanfaat bagi manusia dan lingkungan tergantung tujuan pengembangannya dan tidak terlepas juga dari sifat gen yang diintroduksi. Apabila gen introduksi menghasilkan racun, maka tanaman transgenik dengan sendirinya akan menjadi racun. Kelebihan dari proses rekayasa genetika tanaman transgenik dibandingkan dengan pemuliaan tanaman secara tradisional yaitu dalam tanaman transgenik, gen yang dipindahkan dapat diketahui dengan persis dan dapat diikuti “perjalanannya”.

Analisa toksisitas pada tanaman transgenik biasa dilakukan dengan menggunakan metoda acute gavage serta feeding studies pada binatang-binatang percobaan untuk menentukan apakah protein baru bersifat toksik atau tidak (Hamond dkk, 1996).

Sementara itu telah didokumentasikan bahwa tanaman-tanaman hasil pemuliaan tradisional pun dapat membahayakan kesehatan seperti varietas kentang Lenape dari AS dan Kanada dan varietas Magnum Bonum dari Swedia. Kedua varietas ini telah ditarik dari pasaran karena memiliki kadar racun glikoalkaloid yang tinggi (Zitnak dari Johnston 1970, Hellenas dkk 1995). Selain itu, varietas seledri yang resist (tahan) terhadap serangga hasil pemuliaan tradisional yang dilepas di Amerika Serikat ternyata memiliki kadar psoralen (karsinogen) yang tinggi (Ames dan Gold 1988).

5. Apakah produk rekayasa genetik (L-tryptophan) membunuh manusia ?

Penyakit EMS (Eosinophilia-Myalgia Syndrome) yang menyebabkan kematian pada manusia ternyata disebabkan oleh konsumsi makanan suplemen yang mengandung L-tryptophan (US FDA 1990). L-tryptophan dihasilkan dari hasil fermentasi bakteri Bacillus amyloliquefaciens. Untuk meningkatkan produksi asam amino ini, perusahaan pembuatnya yaitu Showa Denko merekayasa genetik bakteri Bacillus amyloliquefaciens. Pada saat bersamaan perusahaan itu juga mereduksi penggunaan karbon aktif yang diperlukan untuk menyaring kontaminan dan impuriti yang biasa terdapat pada setiap proses fermentasi sebanyak 50%.

Penyakit EMS (Eosinophilia-Myalgia Syndrome) [tryptophan] yang terjadi diakibatkan oleh proses penyaringan yang tidak sempurna. (Mayeno dkk, 1990 dan Hill dkk, 1993). Penyakit ini bukan disebabkan karena penggunaan transgenik bakteri.

6. Apakah produk rekayasa genetika dapat menyebabkan alergi ?

Alergi terhadap makanan diartikan sebagai reaksi imunologi (kekebalan) tubuh, yang mempunyai dampak merugikan kesehatan, terhadap antigen yang terdapat dalam makanan (Lehrer 1999). Lebih dari 90% kasus alergi terhadap makanan disebabkan karena makanan-makanan yang termasuk dalam “kelompok delapan” yaitu telur, ikan, makanan laut, susu, kacang tanah, kacang kedelai, pohon penghasil kacang (tree nuts), dan gandum (Taylor dan Lehrer 1996).

Rekayasa genetika memungkinkan terjadinya introduksi protein yang berasal dari sumber yang beragam pada makanan. Alergy and immunology institute dan Internasional food Biotechnology Council bersama dengan para pakar dibidangnya telah merumuskan protokol pengujian kemungkinan makanan hasil rekayasa genetika yang bersifat sebagai alergen (Metcalfe dkk, 1996). Untuk menguji makanan hasil rekayasa genetika yang tidak mengandung alergen dilakukan serangkaian pengujian meliputi identifikasi sumber gen apakah berasal dari “kelompok delapan” di atas.

Jika demikian, selanjutnya dilakukan pengujian-pengujian imunologis seperti solid phase immunoassay dan tes skin prick. Seandainya sumber gen tersebut bukan berasal dari “kelompok delapan”, susunan asam amino protein introduksi kemudian dibandingkan dengan protein-protein yang telah diketahui bersifat sebagai alergen yang terdapat dalam database seperti GenBank, EMBL, SwisProt, PIR, untuk dilihat kesamaan susunan asam aminonya. Selanjutnya, stabilitas protein introduksi dianalisa sesuai dengan sifat allergen, karena juga allergen diketahui bersifat stabil pada suhu tinggi dan juga stabil pada sistem pencernaan. Beberapa contoh evaluasi alergenisitas tanaman hasil rekayasa genetika adalah sebagai berikut:

a). Kedelai yang mengandung gen kacang Brazil (Nordlee dkk).
Dalam upaya memperkaya protein kedelai dengan asam-asam amino yang mengandung gugus sulfur (seperti metionin), gen kacang Brazil yang kaya akan gugus sulfur telah dimasukkan ke dalam salah satu jenis kacang kedelai. Seperti diketahui baik kedelai maupun kacang Brazil, merupakan bagian dari ” kelompok delapan” (tree nuts) yang dapat menyebabkan reaksi alergi. Evaluasi alergenisitas terhadap kedelai transgenik dengan gen dari kacang Brazil meningkatkan potensi alergenisitas kedelai tersebut. Dengan demikian, pengembangan kedelai dengan gen dari kacang Brazil kemudian dihentikan (Conner 1997, Lehrer 1999).

b) Meningkatkan kadar asam oleat (oleic acid) pada kacang kedelai. (Lehrer dan Reese, 1998).
Kedelai ini direkayasa genetiknya kadar asam oleiknya meningkat sehingga lemak yang terkandung dalam kacang kedelai tersebut menjadi lebih sehat. Proses rekayasa genetika yang dilakukan pada kacang kedelai ini adalah dengan meningkatkan kadar beberapa macam protein sehingga dikhawatirkan dapat pula meningkatkan potensi alergenitas pada kacang kedelai tersebut. Evaluasi alergenisitas kemudian dilakukan seperti halnya pada evaluasi kedelai dengan kacang Brazil di atas. Hasilnya terbukti bahwa kacang kedelai dengan kadar asam oleat tinggi tidak memiliki potensi alergenisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kacang kedelai biasa.

Dari contoh evaluasi alergenitas di atas dapat disimpulkan bahwa kemungkinan diintroduksinya alergen pada proses rekayasa genetika sudah dapat diprediksi dengan metoda deteksi yang memang sudah tersedia untuk mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan introduksi ini. Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa penambahan protein pada makanan yang bukan berasal dari kelompok delapan di atas, yang tidak memiliki kesamaan susunan asam amino dengan protein alergen yang ada di database serta protein pada sumber makanan tersebut mudah terurai (tidak stabil) pada pemanasan maupun pada proses pencernaan, tidak membuat tanaman transgenik tersebit menjadi lebih bersifat allergen dibandingkan dengan tanaman bukan transgenik.

Selain itu, dibandingkan dengan proses pemuliaan biasa, gen yang diintroduksi pada tanaman hasil rekayasa genetika, sudah diketahui persis susunan DNA-nya maupun protein hasil ekspresinya, sehingga kemungkinan adanya allergen pada tanaman hasil rekayasa genetika sudah dapat diprediksi lebih dini. Misalnya, penelitian di Jepang menunjukkan dengan rekayasa genetika telah dimungkinkan adanya pengurangan kadar protein allergen tanaman padi. (Matsuda dkk, 1993).
Penutup
Rekayasa genetika diyakini oleh pakar sebagai terobosan teknologi yang berpotensi untuk meningkatkan produktivitas pertanian per unit lahan yang diperlukan dalam mengimbangi jumlah pertambahan penduduk. Untuk menjamin keamanan produk pertanian hasil rekayasa genetika terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan, produk-produk ini harus melewati proses pengujian sebelum dipasarkan. Di negara-negara lain, metode-metode pengujian keamanan produk-produk pertanian hasil rekayasa genetika telah tersedia dan penelitian atas tanaman-tanaman transgenik yang kini dipasarkan telah diakui keamanan pangan (food safety) maupun keamanannya terhadap lingkungan, misalnya oleh badan-badan pengatur seperti Health and Welfare Canada (Kanada), Advisory Committee on Novel Foods and Process, Ministry of Agriculture, fisheries and Food (Inggris), National Food Agency (Denmark), Ministry of Agriculture, Fisheries, and Forestry (Jepang), Australia, Argentina, Malaysia, Afrika Selatan dan negara-negara lain.

Daftar Pustaka

  • Addressing Today’s Core Issues for Better Food & Industry Growth. 2000.
  • Agricultural Biotechnology: Insect Control Benefits – 1999. National Center for Food & Agricultural Policy.
  • Falck- Zepada, JB; G. Traxler and RG Nelson. 1997. Rent Creation & Distribution from Biotechnology Innovations. The Case of Bt Cotton and Herbicide Tolerant Soybeans in 1997 Agribusiness. In press.
  • Hoban, T.J. Forum 4″ Qtr 2000 95-105.
  • Ismael, Y; L. Beyers;C, Thirtle & J.Plesse. 2000. Efficiency Effect of Bt Cotton Adoption by Smallholders in Makhathini Flats, Kwa-Zulu Natal, South Africa. 5 th International Conference on Blotechnology, Science & Modern Agriculture. Ravello, Italy.
  • James, C. 1998. Global Review of Commercialized Transgenic Crops. ISAAA Bulletin
  • K. Setiawan, F. Susilo , H. Ismono, M. Utomo. The Proceedings 18th APWSS Conference, Beijing
  • Monsanto and Academic Field Trial Results. 1997 & 1998, unpublished results.
  • Monkvold, GP;Hellmich, RL; Showers. 1997. Reduced Fusarium Ear Rot & Symptomless Infection in Kernals of maize Genetically Engineeredfor European Com Borer Resistance. Phytopathology 87(10): 1071- 1077.
  • Pray, CE; D. Ma; J; Huang & F. Qiao. 2000. Impact of Bt Cotton in China. Rockefeller Foundation. In press.
  • Saragih, E. 2000. RR-Corn Performance, Indonesia. Monsanto internal report.
  • Sembodo, D.R.J. 2001. Herbicide Tolerant Crop (RR-Corn) Under Conservation Tillage System: Prospects & Challenge.
  • The State of Food & Agriculture 2000. Food & Agriculture Organization of the

Fenomena Cemaran Pangan di Indonesia

Pangan merupakan kebutuhan utama untuk kehidupan makhluk hidup termasuk manusia di dalamnya. Pangan yang baik untuk kesehatan adalah pangan yang mengandung gizi, bebas dari berbagai macam bahaya (mikrobiologis, fisik, kimia), dan memenuhi fungsi-fungsi dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. Namun ternyata dalam proses produksi maupun distribusi tidak jarang terjadi penurunan kualitas pada pangan melalui cemaran pangan (food adulteration).

Food adulteration menurut US-FDA ialah suatu kondisi dimana terdapat penambahan bahan lain yang dapat menurunkan kualitas dan menimbulkan bahaya pada produk pangan, penggunaan bahan tambahan yang mirip atau lebih rendah mutunya untuk mengantikan secara keseluruhan atau sebagian pada pangan, mengandung substansi tambahan yang membahayakan kesehatan, dan terdapat pemalsuan misalnya pewarnaan, ataupun penambahan atau penghilangan sesuatu pada produk pangan.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan berbagai regulasi atau peraturan untuk mencegah terjadinya berbagai pelangaran pada produk pangan yang dapat merugikan kesehatan yang salah satunya cemaran pangan (food adulteration) ini. Pemerintah telah mengeluarkan UU RI No 7 tahun 1996 tentang pangan, PP RI No 69 tahun 1999 tentang label dan iklan pangan, PP RI No 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, juga UU RI No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Walaupun demikian, masih banyak ditemukan adanya kasus cemaran pangan di Indonesia. Kasus-kasus tersebut terjadi di masyarakat dan telah menjadi hal biasa dan banyak diikuti oleh produsen atau distributor pangan. Beberapa kasus diantaranya adalah:

Kasus Formalin yang dijadikan pengawet

Formalin merupakan zat pengawet terlarang yang paling banyak disalahgunakan untuk produk pangan. Zat ini termasuk bahan beracun dan berahya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya di dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehinga menekan fungsi sel dan menyebabkan matinya sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh.

Berdasarkan hasil pengujian balai besar POM di Jakarta (November-Desember 2005), terdapat 98 sampel produk pangan yang dicurigai mengandung formalin dari pasar tradisional dan supermarket, 56 dinyatakan positif mengandung formalin.  Didapatkan dara juga bahwa dari hasil pengujiam sampel mie basah 65 % positif mengandung formalin, 41 sampel tahu 46,3 % positif formalin, 34  sampel ikan asin 64,7 % tercemar formalin. Kasus-ini telah melanggar UU No 7 tentang pangan, PP No 28 tahun 2004 tentang keamanan dan mutu gizi pangan, UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Kasus Beras Oplosan

Beras oplosan merupakan pemalsuan pelabelan beras dimana beras yang terdapat pada karung tidak sesuai dengan yang disebutkan pada labelnya, misalnya beras bulog dicampur denagn beras pandan wangi dengan persentase masing-masing kemudian diklaim dengan label beras pandan wangi dan dijual dengan harga tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB,dari 9 merek beras pandan wangi yangberedar di pasaran rata-rata kandungan pandan wnginya hanya sekitar 25-30 %. Kasus beras oplosan ini telah melanggar UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dan PP No 69 tahun 1999 tentang label dan ikan pangan.

Kasus Pemalsuan Air Galon

Pemalsuan air galon merupakan tindakan pemalsuan label dan merek perusahaan lain. Tindakan ini mudah untuk dilakukan sehingga air kemasan diisi oleh produsen dengan menggunakan label palsu untuk menyerupai perusahaan yang telah terkenal kemudian dijual dengan harga tinggi. Tindakan ini melanggar UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dan PP No 69 tahun 1999 tentang label dan ikan pangan.

Kasus Terigu Impor Yang Tidak Memenuhi Standar dan Pemalsuan

Kasus ini banyak terjadi di Indonesia, data menunjukan di Lampung tahun 2002 didapatkan terigu dengan merek Lencana Merah (Bogasari) tetapi isinya adalah terigu impor yang dilarang beredar. Di solo september 2002 terjadi kasus pengoplosan terigu merek lain (seperti Janoko) dan dimasukan ke dalam kemasan sak merek lain seperti Gunung Bromo, Kereta Kencana, Semar (Bogasari).

Ditemukannya terigu impor merek Premium Bran (Uni Emirat Arab), Surya dan Sun Flower (India), Gem of the West (Australia), Three Horse (India)yang tidak memenuhi SNI dan kondisi fisik berkutu serta berulat yang rencananya terigu-terigu ini akan dioplos dengan merek lain. Kasus-kasus tersebut melanggar UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dan PP No 69 tahun 1999 tentang label dan ikan pangan.

Kasus Penjernihan Minyak Jelantah dengan Hidrogen Peroksida

Tingginya harga minyak goreng akhir-akhir in membuat banyak oknum produsen melakukan tindakan membodohi masyarakat. Minyak jelantah yang telah rusak dibuat kembali menjadi minyak yang secara fisik tampilannya baik. Tindakan pemalsuan ini dilakukan dengan memanaskan minyak jelantah sampai mendidih kemudian ditambahkan hidrogen peroksida sehingga warnanya menjadi jernih, kemudian minyak itu dijual kembali dengan klaim minyak baru. Tindakan ini melanggar UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dan PP No 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan.

Kasus Pengoplosan minyak goreng dengan oli mesin / Kendaraan bekas

Selain kasus penjernihan dengan hidrogen peroksida, adalagi tindakan nekat dari produsen yaitu pengoplosan minyak goreng dengan oli kendaran bermotor bekas. Dengan perbandingan tertentu oli dan minyak diopolos dan diberi perlakuan lebih lanjut sehingga penampakannya seperti minyak asli. Dengan melakukan tindakan ini produsen nakal tersebut mampu meningkatkan keuntungannya

Tindakan ini akan menimbulkan dampak serius bagi kesehatan manusia karena dalam oli bekas kendaraan tersebut terdapat berbagai zat yang membahayakan bagi tubuh manusia. Tindakan ini melanggar UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dan PP No 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan.

Kasus Pencampuran Plastik pada Minyak Goreng Saat Mengoreng

Ada lagi tindakan Gila dari oknum produsen makanan yang sangat meresehkan dan membahayaan, yaitu tindakan pencampuran plastik pada minyak goreng sat melakukan penggorengan pada makanan. Tindakan gila ini akan menghasilkan produk gorengan yang lebih renyah dan kerenyahannya akan bertahan lama. Namun tindakan ini akan mendatangkan bahaya yang besar bagi konsumen, karena plastik mengandung monomer-monomer yang berbahaya bagi tubuh manusia dan sangat sulit sekali dihancurkan oleh tubuh. Tindakan ini melanggar UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dan PP No 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan.

Berbagai kasus food adulteration yang terjadi menunjukan belum tegasnya sanksi peraturan-peraturan pemerintah. Kasus-kasus ini menyebabkan mutu produk pangan menurun bakan dapat membahayakan bagi kesehatan manusia.  Oleh karena itu diperlukan penerapan regulasi yang telah diterapkan secara tegas, konsumen pun harus lebih kritis dalam membeli produk pangan, serta diperlukan adnya peran serta aktif dari para sarjana maupun pakar teknologi pangan untuk melakukan edukasi dan tindakan nyata lainnya.

Fenomena Dibalik Semaraknya Makanan Jajanan

Makanan jajanan (street food) telah menjadi suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Data hasil survei sosial ekonomi nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (1999) menunjukkan bahwa persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan penduduk perkotaan untuk makanan jajanan meningkat dari 9,19 persen pada tahun 1996 menjadi 11,37 persen pada tahun 1999 dan akan terus mengalami tren kenaikan pada tahun-tahun berikutnya.

Dari data tersebut, kita dapat melihat bahwa jumlah makanan jajanan tersebut semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan makin bertambahnya aktivitas penduduk, mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Selain itu makanan jajanan memiliki  beberapa keunggulan diantaranya murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat.

Meskipun memiliki beberapa keunggulan tersebut, ternyata makanan jajanan memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan masyarakat. Menurut badan kesehatan dunia WHO, jajanan di Indonesia tidak menerapkan standar yang direkomendasikan WHO itu sehingga dinilai berkualitas buruk dan tak memenuhi standar gizi. Selain itu penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan ataupun pemakaian bahan tambahan pangan dengan dosis yang sangat tinggi melebihi standar yang ditentukan sangat sering sekali ditemukan pada makanan jajanan.

Ambil contoh kasus terakhir di Kota Semarang pada Kamis (15/12). Saat itu, tercatat 19 siswa SDN Kalibanteng Kidul 01-03 harus dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS Tugurejo Semarang. Mereka keracunan setelah mengonsumsi jajanan yang dijual pedagang di luar sekolah. Makanan yang diduga mengandung racun tersebut berasal dari mi yang diberi saos. Jajanan yang dijual dengan harga Rp 500 per buah itu, setelah pengujian laboratorium dinyatakan mengandung zat pewarna buatan.

Pamakaian bahan tambahan pangan yang sering dilakukan adalah dengan memberikan pewarna. Pemberian pewarna pada makanan yang aman telah diatur melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88, yang mengatur mengenai pewarna yang dilarang digunakan dalam pangan, pewarna yang diizinkan serta batas penggunaannya, termasuk penggunaan bahan pewarna alami. Namun masih banyak produsen terutama industri kecil dan rumah tangga yang menggunakan pewarna yang tidak diizinkan misalnya pewarna untuk tekstil atau cat. Beberapa pewarna terlarang dan berbahaya yang sering ditemukan pada pangan, terutama pangan jajanan, adalah Metanil Yellow (kuning metanil) yang berwarna kuning, dan Rhodamin B yang berwarna merah yang lazimnya digunakan untuk pewarna tekstil.

Penggunaan pewarna yang dilarang ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Berdasarkan hasil penelitian penggunaan rhodamin B dapat menyebabkan  kerusakan pada organ hati. Pada uji terhadap mencit, diperoleh hasil terjadi perubahan sel hati dari normal menjadi nekrosis dan jaringan disekitarnya mengalami disintegrasi atau disorganisasi. Lebih jauh lagi, rhodamine B mengurangi jumlah sel vaskuler endothelial pada pembuluh darah sapi dan sel otot polos pada pembuluh darah hewan berkulit duri setelah 72 jam dalam kultur. Sehingga tidak berlebihan jika studi ini menyimpulkan bahwa rhodamine B menghambat proses proliferasi lipo fibroblast pada manusia.

Menyadari kenyataan bertapa sangat rawannya penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan ataupun yang melebihi kadar yang ditentukan pada produk pangan dan bertapa bahaya penggunanya terhadap kesehatan manusia, maka diperlukan suatu tindakan nyata sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut

Kebijakan Ketahanan Pangan dan Gizi ke Depan

Suatu Negara atau wilayah dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh pebduduk. Ketahanan Pangan (food security) adalah suatu kondidi dimana semua orang, setiap waktu mempunyai akses fisik, social, dan ekonomi pada bahan pangan yang aman dan bergizi sehingga cukup untuk memenuhi kebutuha tubuh. Ketahanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam mengukur derajat kemajuan suatu bangsa dan SDM nya.  Oleh karena itu ketahanan pangan ini perlu mendapatkan perhatian yang besar baik itu oleh masyarakat maupun pemerintah.

Pemerintah selaku wujud dari kekuasaan rakyat hendaknya memiliki kebijakan-kebijakan pangan yang relevan dengan kebutuhan masarakat. Kebijakan di bidang ketahanan pangan dan gizi merupakan bagian yan integral dari kebijakan pembangunan nasional. Secara khusus kebijakan ini diarahkan untuk mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi dalam mewujuskan ketahanan pangan, diantaranya: menjamin pasokan pangan yang stabil bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, diversifikasi, kandungan gizi, serta menjamin akses masyarakat dalam bentuk fisik sosial, maupun ekonomi.

Arahahan kebijakan pembangunan ketahanan pangan harus selaras dengan arahan pembangunan ekonomi nasional, yaitu:

  1. berorientasi global, sesuai dengan kemajuan teknologi. Teknologi telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan pertanian, Pemanfaatan dan penguasaan teknologi pertanian berhubungan langsung dengan peningkatan produktivitas dan nilai tambah.
  2. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal, baik berupa sumber daya alam , sumber daya manusia, ataupun kelembagaan, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki Sumberdaya lokal yang melimpah baik iti berupa SDA maupun SDM. Hampir disetiap daerah memiliki makanan khas tradisional juga hasil alam yang khas di setiap daerahnya, ini merupakan potensi yang sangat besar dan harus dimanfatkan sebaik-baiknya. Selain itu jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak merupakan potensi tersendiri. Diperlukan suatu usaha dan komitmen bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk dapat memanfaatkan local indigenus ini.
  3. memberdayakan pengusaha kecil menengah dan koperasi agar lebih efisien, produktif, dan berdaya saing dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Hal ini mengingat kenyataa yang kita hadapi bahwa unit usaha ini merupakan unit usaha terbesar di masyarakat. Namun karena usahanya yang berskala kecil, mereka akan dengan mudah kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu pemberdayaan UKM dan koperasi sangatlah penting.
  4. Mengembangkan bisnis pangan dengan mengacu pada mekanisme pasar yang kompetitif. Bisnis dibidang pangan ini merupakan bisnis yang sangat penting dan tidak akan pernah mati ditelan zaman, peningkatan bisnis pangan dengan mekanisme pasar yang kompetotif akan memacu para pengusaha pangan untuk terus berproduksi dan meningkatkan kualitasnya baik dari hal jumlah, keamanan, gizi, dan distribusi. Sehingga dengan demikian akan memberikan keuntugan kepada konsumen yaitu masyarakat karena terjadinya peningkatan pangan dalam kualitas dan kuantitas.

Selain itu diperlukannya keseriusan dari pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan ini demi pembangunan bangsa dan ketahanan nasional yang kuat. Kegiatan penelitian-penelitia harus lebih dioptimalkan, juga adanya kerjasama dengan universitas sebagai sentra pendidikan tinggi dan LSM-LSM harus lebih dioptimalkan.

PENGINDUSTRIAN KEANEKARAGAMAN PANGAN “Menuju Ketahanan Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal”

Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan mengartikan ketahanan pangan sebagai ”kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.” Sedangkan di dalam GBHN 1999-2004 dinyatakan bahwa peningkatan ketahanan pangan dilaksanakan dengan berbasis sumber daya pangan, kelembagaan, dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan para pelaku usaha skala kecil, dengan pengaturan yang didasari undang-undang. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebutuhan pangan sejauh mungkin harus dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, dengan mengandalkan keunggulan sumber daya, budaya, dan kelembagaan.

Satu nilai penting dari ketahanan pangan adalah berbasis sumber daya lokal (local indigenus). Yang dimaksud dengan berbasis sumber daya lokal adalah ”sekelompok pengetahuan, teknologi, sumber yang ada dan dikembangkan di dalam, sekitar, dan atau oleh masyarakat tertentu di lokasi yang tertentu pula. Indonesia memiliki potensi sumber daya lokal yang sangat besar, hal ini tercermin dari luasnya wilayah Indonesia dan beragamnya budaya dan suku  bangsa yang ada di dalamnya.  Sumber daya lokal ini menggambarkan potensi lokal dan ciri khas daerah masing-masing.

Potensi sumber daya lokal Indonesia yang sangat besar , ini menjadi kekuatan tersembunyi bagi ketahann pangan nasional. Kemelimpahan keragaman itu diantaranya Beras Cianjur, Jeruk Medan, Markisa Makasar, Asinan Bogor, Kopi Lampung, Madu Sumbawa, Dodol Garut, Sagu Papua, Talas Bogor, Jagung Madura, Peuyeum Bandung, Bubur Manado, disamping itu berbagai tanaman yang tumbuh melimpah di semua daerah seperti Ubi Jalar, singkong, dan berbagai taaman umbi-umbian lainnya.

Namun sampai saat ini potensi-potensi sumber daya lokal ini belum banyak dimanfaatkan. Diperlukan adanya identifikasi potensi keunggulan daerah  dengan memperhatikan potential resorces (lingkungan, teknologi, dan masyarakat), sosio-kultur lingkungan dalam kerangka struktur ekonomi dareah, dan dinyatakan secara tegas sebagai komitmen pemerintah daerah.

Perlu adanya komitmen politik dari pemerintah dareah dan masyarakat dalam pengembangan ketahanan pangan berbasis sumber daya lokal. Pemerintah daerah perlu melakukan upaya eksplorasi dan pemanfaatan potensi bahan lokal unggul, perbaikan budidaya, pengolahan, dan pengemasan, pengembangan pemasaran produk lokal unggul, dan perlu adanya upaya pengangkatan pamor dan citra produk pangan lokal.

Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah perlunya dikembangkan pengindustrian aneka ragam pangan berbasis sumber daya lokal. Hal ini menuntut adanya kerjasama dari berbagai elemen yang terkait seperti pemerintah daerah, lembaga penelitian, industri, perguruan tinggi, LSM, dan masyarakat.

Banyak contoh yang dapat diambil pelajarannya dari sinergisasi berbagai elemen dalam mengembangkan pengindustrian anekaragam pangan berbasis sumber daya lokal, salah satu contoh yaitu program ”buy california” yang dilakukan California Amerika Serikat. Pemerintah daerah, lembaga penelitian, dan industri mempunyai visi bersama untuk mensukseskan program ini, maka munculah berbagai kegiatan yang sinergis dari mulai penelitian, penanaman, investasi, pemasaran, sampai kampanye-kampanye pemasaran pada berbagai atribut umum seperti kendaraan, papan reklame, iklan yang bertuliskan ”Buy California”.